- Valdya Baraputri
- Wartawan BBC News Indonesia
20 Mei 2021
Sumber gambar, BBC IndonesiaKeterangan gambar,
Perkembangan pembangunan Sirkuit Mandalika di bulan April
Puluhan keluarga beserta sejumlah ternak peliharaan mereka masih bertahan di Desa Kuta, Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sementara, alat-alat besar pembangunan sirkuit Mandalika tampak dari desa mereka dari sela-sela pohon kelapa.
Mandalika International Street Circuit adalah bagian dari kawasan pariwisata yang dijuluki 'Bali baru.' World Superbike akan digelar di sirkuit ini pada tanggal 12 sampai 14 November mendatang, dan MotoGP pada bulan Maret 2022.
Salah seorang warga Desa Kuta yang masih bertahan, mengaku belum pindah karena belum menjual tanahnya kepada pemerintah. Namun warga lain di lahan yang sama mendapat informasi bahwa tanah mereka sudah menjadi milik negara, meski mereka tak pernah merasa menjualnya.
Sementara, pihak pengembang yakin mereka telah bertindak adil dengan memberikan kompensasi lahan dengan nilai yang sesuai, bagi warga yang memiliki bukti-bukti kepemilikan yang sah.
Baca juga:
Sumber gambar, BBC IndonesiaKeterangan gambar,
Rumah-rumah warga yang masih bertahan di dekat lokasi pembangunan sirkuit Mandalika
Warga yang tidak memiliki bukti kepemilikan tanah dipindahkan ke sebuah lahan yang lokasinya sekitar dua kilometer dari Desa Kuta. Menurut Polda NTB, sekitar 90 KK telah menempati lahan relokasi. Rencananya mereka akan direlokasi lagi ke lahan lain yang nantinya akan dijadikan desa pariwisata.
Namun bagi warga, lahan relokasi kondisinya memprihatinkan; rencana desa pariwisata dan peran mereka di sana pun belum jelas. Ketidakpastian akan masa depan membuat mereka khawatir hanya akan menjadi 'penonton' di rumah sendiri.Keterangan video,
Pembangunan kawasan wisata serta sirkuit MotoGP di Mandalika dituding melanggar HAM
Bongkar rumah sendiri karena tidak ada pilihan lain
Damar, seorang warga Desa Kuta, yang tumbuh besar tidak sampai 500 meter dari lokasi pembangunan sirkuit, telah cukup vokal menyuarakan ketidakadilan yang dirasakan dirinya dan sanak saudaranya yang tinggal di lahan seluas sekitar 3300 m2.
Sebelum pandemi, ia berprofesi sebagai pelatih selancar bagi para turis. Saat industri pariwisata mulai lesu tahun di tahun 2020, di waktu yang hampir bersamaan, ia harus mengosongkan lahan.
Sumber gambar, BBC IndonesiaKeterangan gambar,
Damar di depan puing-puing yang dulu rumahnya
"Saya masih ingat waktu pertemuan pertama kali di sini (tahun 2019), langsung mereka bilang, bulan Agustus, sebelum tanggal 17, semua tempat ini harus dikosongkan," kata Damar. "Jadi kita bingung, belum ada sosialisasi, belum ada musyawarah, belum ada kesepakatan dari kedua belah pihak, tiba-tiba saja pemerintah setempat datang dan bilang begitu ke masyarakat."
Berdasarkan keterangan Damar, lahan miliknya dinilai oleh tim appraisal independen seharga three,2 miliar rupiah. Menurut Damar itu sudah termasuk enam rumah di atasnya, tanaman hortikultura warga, dan kerugian immateril.
Bagi Damar angka itu tidak sebanding dengan upayanya untuk memulai hidup baru dan kesedihan meninggalkan desa yang telah berusaha ia bangun selama bertahun-tahun. Ia seringkali membawa klien asingnya ke desa untuk mengajar bahasa Inggris pada anak-anak.
Awalnya, Damar tidak mau menerima dana konsinyasi dan mencoba bertahan, namun ia berkesimpulan bahwa kenyataan ia harus angkat kaki dari desanya tak terelakkan.
Sumber gambar, Dok warga KutaKeterangan gambar,
Spanduk yang sempat dibuat Damar sebagai bentuk protes akan gangguan akibat pembangunan sirkuit terhadap kelangsungan hidup warga Desa Kuta
"Kementerian Pariwisata bilang kalau masyarakat itu sudah setuju, kalau tidak percaya sudah ada fotonya. Betul, ada fotonya waktu pembayaran kemarin," tutur Damar. "Hanya saja, kalau masyarakat dikasih pilihan lain mungkin tidak akan begitu. Kita itu menerima uang ganti rugi karena kita sudah tidak ada pilihan lain lagi."
Damar beserta tetangga dan keluarganya akhirnya membongkar sendiri rumah mereka di bulan April. Ia berencana mengajak keluarganya untuk menempati lahan lain miliknya yang lebih kecil.
Sebuah bale-bale dan papan bisnis milik istrinya masih tersisa di lahan yang telah ditinggalkan.
Namun Damar pergi dengan membawa suatu kekhawatiran.
"Jangan-jangan kalau proyek ini sudah jadi, kita cuma jadi penonton di rumah sendiri. itu yang saya takutkan," kata Damar.
Tuduhan PBB 'upaya menjatuhkan Indonesia'
Beberapa waktu lalu PBB menuduh pemerintah Indonesia dan Indonesian Tourism Development Corporation (ITDC) sebagai pengembang Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika melanggar HAM masyarakat lokal.
Para pakar PBB yang menyusun laporan itu menyampaikan bahwa dalam proses pembangunan KEK Mandalika telah terjadi perampasan tanah yang agresif, penggusuran dan pengusiran paksa terhadap masyarakat adat Sasak, intimidasi, dan ancaman serta tidak ada ganti rugi.
Dalam laporannya PBB menyebut terdapat one hundred fifty warga yang diduga menjadi korban.
Balasan resmi pemerintah Indonesia telah dilayangkan kepada PBB sesuai tenggat waktu yang diberikan yakni pada 3 Mei 2021. Jawaban itu dapat diakses oleh publik di sini.
Perwakilan Tetap Republik Indonesia di Jenewa menyayangkan langkah PBB mempublikasi laporan berisi tuduhan pelanggaran HAM saat proses verifikasi pemerintah Indonesia masih berlangsung. PTRI menyebut hal itu sebagai politisasi 'cerita sepihak'.
Dalam surat resminya, PTRI menyatakan bahwa dalam proyek KEK Mandalika bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan di wilayah Lombok. Pemerintah Indonesia pun telah berkomunikasi dengan Majelis Adat Suku Sasak dan mendapat dukungan dari mereka.
Direktur Utama ITDC, Abdulbar M. Mansoer, mengakui reaksi keras PTRI.
"Mereka merasa bahwa ini adalah suatu 'hack activity', upaya untuk menjatuhkan Indonesia," kata Abdulbar di kantornya di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat.
Sumber gambar, BBC IndonesiaKeterangan gambar,
Abdulbar M. Mansoer, Direktur Utama ITDC di kantornya
Sengkarut sengketa tanah
Situasi di lapangan terkait lahan, menurut Abdulbar, dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama adalah warga yang belum mendapatkan kompensasi pembebasan lahan mereka.
"Kita melakukan pembayaran dengan sebisa kita, meski sekarang pariwisata sedang terpuruk," kata Abdulbar. "Kalau ditotal sekitar one hundred forty miliar sudah kita keluarkan untuk memberikan hak bagi penduduk dan mereka dengan sukarela menerima."
Sumber gambar, ITDCKeterangan gambar,